Dalam dunia pendidikan kita diharuskan untuk membuat perangkat pembelajaran agar cara belajar dan mengajar bisa epektif dan berjalan dengan baik. Seorang pendidik selain harus mampu atau menguasai bidang keahliannya atau jurusan pendidikan yang diampunya maka dituntut harus mampu pula membuat perangkat pembelajaran. kenapa seperti itu, karena dengan perangkat pembelajaran maka kita akan mudah mengelola kelas dengan baik, dalam artian sebelum masuk ke kelas maka kita sudah menyiapkan segala macam kebutuhan dengan persiapan yang matang. Berikut beberapa perangkat pembelajaran yang harus disiapkan oleh pendidik sebelum dia masuk ke ruangan kelas: 1. Pekan efektif ini biasanya didapatkan dengan melihat kalender pendidikan 2. Prota atau sering dikenal dengan program tahunan 3. Promes atau program semester Silabus 4. RPP (Rencana Perangkat Pembelajaran) Format penilaian 5. Buku materi pembelajaran itu adalah hal-hal yang dibutuhkan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Selain itu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pemahaman terhadap berbagai paham – paham dalam kancah
dunia Islam merupakan hal yang sangat penting. Islam sering digonjang ganjing
dengan paham yang setengah – setengah dan menjadi salah kaprah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin rusaknya
moral para penghuni dunia ini maka tidak ada salahnya untuk menjaga diri kita
dan membentengi akidah kita maka pemahamn terhadap paham – paham yang ada dalam
Islam sangatlah perlu. Salah satunya dari paham – paham yang ada adalah paham
kaum Khawarij.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari
uraian diatas kita dapat merumuskan bahwa:
1. Apa yang dimaksud
dengan kaum Khawarij?
2. Bagaimana latar
belakang munculnya paham kaum Khawarij?
3. Bagaimanakah paham teologi kaum Khawarij?
4. Bagaimanakah Sub – Sub sekte dalam paham kaum Khawarij?
5. Adakah i’tikad
kaum Khawarij yang bertentangan dengan kaum Ahlussunah Wal Jamaah?
1.3
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan masalah yang ada dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Mengetahui yang
dimaksud dengan kaum Khawarij.
2. Mengetahui latar
belakang munculnya paham kaum Khawarij.
3. Memahami paham teologi kaum Khawarij.
4. Mengetahui Sub – Sub sekte dalam Khawarij
5. Mampu
mengetahui i’tikad kaum Khawarij yang bertentangan dengan kaum Ahlussunah Wal
Jamaah.
BAB II
PAHAM KAUM KHAWARIJ
2.1
Arti Kata Khawarij
Nama “Khawarij” berasal dari kata “kharaja”
yang berarti: keluar. Nama tersebut diberikan kepada mereka karena
mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dalam persengketaannya dengan Mu’awiyah
yang terjadi pada
saat peperangan Siffin.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan,
bahwa pemberian nama “Khawarij” tersebut didasarkan pada ayat 100 dari surat
An-Nisa yang artinya : “ Dan barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Dengan demikian kaum Khawarij memandang
diri mereka sebagai kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan
diri kepada Allah dan Rasul-Nya untuk memperoleh pahala dari Allah SWT.
2.2
Latar Belakang Munculnya Kaum Khawarij
Sebagaimana kita ketahui dalam
sejarah, bahwa Nabi Muhammad di samping sebagai Rasul beliau juga pemimpin
umat, sebagai kepala Negara. Ini berarti bahwa Islam disamping sebagai system
agama, juga sebagai system politik, yang mengatur tentang ketatanegaraan.
Oleh karena itu tidak mengherankan,
kalau pada waktu Nabi Muhammad wafat, masyarakat Madinah menjadi bingung
memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara Islam yang belum lama
berdiri.
Maka timbullah masalah besar bagi
mereka, yaitu siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala
Negara. Masalah ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai masalah khilafah.
Sebagai Nabi atau Rasul, mereka tidak mempersoalkannya, sebab Nabi atau Rasul
itu tidak dapat digantikan.
Dalam sejarah kita ketahui bahwa
masyarakat Islam pada waktu itu menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Nabi
Muhammad dalam mengepalai Negara mereka. Karena itu Abu Bakar dikenal sebagai
khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn al-Khatab sebagai
khalifah kedua, dan kemudian Umar digantikan oleh Usman ibn Affan sebagai
khalifah ketiga.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, Usman termasuk dalam golongan pedangan
Quraisy yang sangat kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang-orang aristokrasi
Mekkah, yang karena pengalaman dagang, mereka
mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini
sangat bermanfaat dalam mengelola administrasi daerah- daerah di luar
semenanjung Arabia, yang semakin lama semakin bertambah banyak masuk ke bawah
kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar ibn al- Khattab,
khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan
sendiri atau kepentingan keluarganya itu dijatuhkan oleh Usman.
Tindakan-tindakan politik yang
dijalankan Usman ini sudah barang tentu menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi khalifah Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang mulanya
menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai
meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi
khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan
tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir sebagai reaksi terhadap
dijatuhkannya Umar ibn al-As yang diganikan oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Abi
Sarh, salah satu anggota kaum keluarga Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima
ratus pemberontak bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah
selanjutnya menimbulkan pembunuhan terhadap Usman, yang dilakukan oleh
pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.
Setelah Usman wafat, maka Ali menjadi khalifah yang keempat. Tetapi ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah
dan Zubair dari Mekkah, yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari
Aisyah-Talhah Zubair ini dapat dipatahkan oleh kekuatan Ali. Dalam pertempuran
yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh dan
Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Selanjutnya Al-Tabari menerangkan,
bahwa tantangan kedua datang dari Mu’awiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Seperti halnya Talhah dan
Zubair, ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar
ia menghukum orang-orang yang membunuh Usman. Bahkan ia menuduh Ali turut
campur dalam pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang
ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak
angkatnya Ali bin Abi Thalib. Lagi pula Ali nampak tidak mengambil tindakan
keras terhadap kaum pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat oleh
Ali menjadi Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi
antara kedua golongan ini dalam perang “Siffin”, pasukan Ali dapat mendesak pasukan Mu’awiyah. Tetapi tangan kanan
Mu’awiyah, yaitu Amr ibn al-‘As, yang terkenal sebagai orang yang sangat licik,
minta berdamai dengan mengangkatkan Quran keatas. Qurra’ yang ada di pihak Ali
mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarinyalah
perdamaian dengan mengadakan arbitrase (tahkim). Sebagai arbiters diangkatlah
dua orang, yaitu Amr ibn al-As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari
dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al-‘As dapat mengalahkan
Abu Musa yang terkenal sangat takwa.
Karena tidak setuju dengan sikap Ali
bin Abi Thalib yang menerima “tahkim” (arbitrase) sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan maka pengikut
Ali yang tidak setuju dengan penerimaan “tahkim”, mereka menyatakan
keluar dari pengikut Ali bin Abi Thalib. Kaum inilah yang disebut dengan kaum
Khawarij.
Kaum khawarij terkenal kaum yang keras, tidak pandai
berminyak air. Mereka berjuang mati – matian untuk menegakan fahamnya dan memberikan
pengorbanan apa saja, sampai kepada jiwanya, dalam menegakan fahamnya.
Adapun nama-nama
lain bagi kaum Khawarij adalah sebagai berikut:
1.
Selanjutnya
mereka menyebutkan diri mereka sebagai kaum “Syurah”, yang berasal dari kata
“Yasyri” yang berarti menjual. Penyebutan nama tersebut didasarkan pada Surat
Al-Baqarah ayat 207, yang artinya : “Dan di antara segolongan manusia ada yang
menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah, dan Allah itu Maha Pengasih
kepada hamba-hamba- Nya”.
2.
Mereka
seringkali disebut juga “Haruriyah” yang berasal dari “Harura”, yaitu nama
sebuah desa di dekat kota Kufah di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada
waktu itu berjumlah 12.000
orang berkumpul, setelah memisahkan diri dari
barisan Ali bin Abi Thalib sebagai anti dari Ali. Dalam pertempuran dengan
kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seseorang yang
bernama Abdurraahman bin Muljam dapat membunuh Ali
bin Abi Thalib.
Pada saat itu pengikut kaum Ali bin Abi Thalib harus memusatkan perhatiannya untuk
menghancurkan kaum Khawarij itu terlebih dahulu. Tetapi setelah mereka ini kalah, pasukan Ali
merasa sudah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan pasukan
Mu’awiyah. Karena itu Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus, dan setelah Ali ibn
Abi Thalib wafat. Mu’awiyah dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai
Khalifah Umat Islam pada tahun 661 M.
Walaupun kaum khawarij mengalami
kekalahan besar, namun mereka dapat menyusun kembali barisan mereka untuk
meneruskan perlawanan mereka terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman
dinasti Bani Umayyah, maupun di zaman kekuasaan dinasti Bani Abbas.
Pemegang-pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah
menyeleweng dari Islam, karena itu menurut mereka harus ditentang dan dijatuhkan.
Setelah Saidina
Ali sebagai Khalifah ke IV meninggal terbunuh dan setelah Saidina Hasan bin Ali
menyerahkan Khalifah kepada Saidina Muawiyah serta setelah Saidina Husein
meninggal di Padang karbella maka kaum Khawarij tidak bertambah mundur, tetapi
tambah beringas dan bertambah garang melawan kekuasaan Saidina Mu’awiyah.
Mereka membangun organisasi mereka dengan rapi. Gerakan Khawarij menjadi
bercabang dua yaitu:
1.
Bermarkas
negeri Bathaih yang dikepalai oleh Nafi’ bin azraq dan Qathah bin Faja’ah.
Mereka mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia dan satu lagi di Kiraman
untuk daerah – daerah di sekeliling Irak.
2.
Bermarkas
di Arab daratan yang menguasai kaum Khawarij yang berada di Yaman, Hadharamaut
dan thaif. Adapun markas ini dikepalai oleh Abu Thaluf, Najdah bin ‘Ami dan Abu
Fudaika.
Mulanya kaum Khawarij hanya mempersoalkan Khalifah dan
tahkim, tetapi kemudian merembet – rembet kepada soal – soal i’tikad dan
kepercayaan, sehingga dalam dunia islam terbentuk suatu faham yang dinamakan
Faham “Khawarij” .
2.3
Paham Teologi Kaum Khawarij
Prof. Dr.
Harun Nasution menyatakan bahwa menurut Abu Zahrah, timbulnya paham teologi
dalam kalangan kaum khawarij bermula dari paham mereka dalam masalah-masalah
politik/ketatanegaraan.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka
memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada waktu itu.
Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka Khalifah atau Imam
harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, yang berhak menjadi
Khalifah itu bukan hanya anggota suku bangsa Quraisy, bahkan juga bukan hanya
orang Arab saja, tetapi siapa saja orang Islam yang sanggup dan mampu, walaupun
ia seorang hamba yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus
memegang jabatannya selama ia masih bersikap adil dan menjalankan syariat
Islam. Tetapi kalau ia sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, maka ia wajib
dijatuhkan atau dibunuh.
Selanjutnya di dalam kitabMaqalat
disebutkan, bahwa dalam hubungannya dengan khalifah-khalifah yang empat, maka
khalifah atau pemerintah Abu Bakar dan Umar ibn al- Khattab seluruhnya dapat
mereka terima, karena kedua khalifah tersebut diangkat dan tidak nyeleweng dari
ajaran- ajaran Islam.
Akan tetapi pada pemerintahan Ali
ibn Abi Thalib, menurut pandangan mereka Ali telah menyeleweng dari ajaran
Islam sejak terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
tentang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Karena itu Usma dan Ali menurut
pandangan mereka telah menjadi kafir. Demikian pula Mu’awiyah, Amr ibn al ‘As,
Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang mereka anggap telah menyimpang atau
menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
Dengan demikian dalam kalangan kaum
khawarij mulai memasuki persoalan “kufr”: siapakah yang disebut “kafir”, dan
mereka anggap tidak keluar dari Islam, dan siapa pula yang disebut “mukmin”,
dan mereka anggap tidak keluar dari Islam.
Persoalan-persoalan serupa ini bukan
lagi merupakan persoalan politik, tetapi sudah berubah menjadi persoalan
teologi.
Pendapat tentang siapa yang
sebenarnya masih dipandang sebagai orang Islam, dan siapa yang telah keluar
dari Islam dan dipandang sebagai orang kafir, serta soal-soal yang
bersangkut-paut dengan ini, dikalangan kaum khawarij tidak selamanya sama,
sehingga timbullah beberapa golongan kecil atau sub-sub sekte dalam kalangan khawarij. Dalam
kitab Al- Milal waal-Nihal Al-Baqdadi, mereka terpecah menjadi 20 sub sekte, bahkan menurut Al-Asy’ari,
mereka terpecah menjadi sub-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Prof. Dr. Harun
Nasution menambahkan bahwa kaum Khawarij itu pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Mereka hidup di padang pasir yang tandus, yang membuat
mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran mereka, tetapi mereka
sangat keras hati dan berani serta bersikap merdeka, tidak mau tergantung pada
orang lain. Agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke Badawian. Mereka
telah bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang
Badawi, mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut
lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan pemahaman
mereka sangat sederhana, sempit dan fanatic. Iman mereka tebal, tetapi
pandangan mereka sempit ditambah dengan sikap mereka yang fanatic, ini membuat
mereka tidak dapat mentolerir hal-hal yang kelihatannya menyimpang dari ajaran
Islam menurut paham mereka.
Inilah nampaknya yang menjadi faktor penyebab mengapa kaum khawarij
terpecah-pecah menjadi golongan-golongan
kecil, dan mengapa mereka terus-menerus bersikap mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
2.4
Sub – Sub sekte dalam Kaum Khawarij
Diantara sub-sub sekte dari aliran
khawarij tersebut ialah :
1. Al- Muhakkimah
Al-Muhakkimah
adalah golongan khawarij asli, bekas pengikut-pengikut Ali, yang kemudian
memisahkan diri, dan kemudian menentang Ali. Menurut golongan ini, Ali dan
Mu’awiyah serta kedua pengantarnya, yaitu Amr ibn ‘As dan Abu Musa Al-Asy’ari,
serta semua orang yang telah menyetujui arbitrase, mereka itu telah melakukan
perbuatan salah, karena menyimpang dari ajaran Islam, perbuatan mereka itu
membuat mereka menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan
artinya, sehingga orang yang melakukan dosa besar pun termasuk orang yang telah
kafir. Berbuat zina adalah termasuk dosa besar, karena itu menurut golongan ini
orang yang mengerjakan zina, dia telah menjadi orang kafir, dan dikeluarkan
dari Islam. Demikian pula membunuh sesame muslim tanpa sebab adalah termasuk
dosa besar. Karena itu menurut golongan ini perbuatan membunuh manusia itu
membuat si pembunuhnya menjadi orang kafir, dan keluar dari Islam. Demikian
pula dengan dosa-dosa besar lainnya.
2. Al-Azariqah
Golongan
ini muncul setelah hancurnya golongan Al- Muhakkimah, dan golongan ini kemudian
menjadi lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan golongan Al- Muhakkimah
sendiri. Daerah-daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan antara Iran dan
Irak. Nama Al- Azariqah diambil dari nama seorang pemuka golongan ini, yaitu;
Nafi’ ibn al-Azraq.
Dalam
kitab Al-Farqu
baina al-firaq, al-Bagdadi menyebutkan bahwa jumlah pengikut al-Azariqah itu
mencapai 20.000 orang. Sebagai khalifah yang pertama mereka memilih Nafi’ ibn
al Azraq, dan kepadanya diberi gelar; “Amir al-Mu’minin”. Nafi’ meninggal dunia
dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan
ini mempunyai sikap yang lebih radikal di bandingkan dengan golongan al-Muhakkimah. Orang yang melakukan perbuatan
dosa besar tidak lagi mereka sebut sebagai orang yang kafir, seperti dalam
golongan al- Muhakkimah, tetapi mereka sebut sebagai orang yang ‘musyrik’(politeist).
Padalah di dalam Islam, musyrik itu merupakan dosa yang paling besar. Musyrik
lebih besar dosanya daripada kafir.
Menurut
golongan ini, termasuk musyrik juga orang- orang Islam yang sepaham dengan
ajaran-ajaran al- Azariqah. Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan
al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka
juga dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain, orang-orang dari
golongan al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah kekuasaan
mereka, juga dianggap sebagai orang musyrik.
Selanjutnya
al-Bagdadi menyebutkan, bahwa barang siapa yang datang ke daerah mereka, dan
mengaku sebagai pengikut al-Azariqah, maka mereka tidak dapat diterima begitu
saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian, yaitu mau membunuh
seorang yang ditawan. Kalau ia telah berhasil membunuh tawanan, maka ia
diterima sebagai pengikut al-Azariqah yang baik, tetapi apabila ia tidak
berhasil membunuh tawanan tersebut maka ia sendirilah yang harus dihukum bunuh.
Keengganan membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti bahwa ia berdusta dan
sebenarnya ia itu bukan penganut paham al-Azariqah. Bahkan anak-anak dan istri-
istri orang-orang yang demikian pun boleh ditawan, dijadikan budak ataupun
dibunuh.
Prof.
Dr. Harun Nasution menambahkan, bahwa golongan al-Azariqah ini mempunyai paham,
hanya daerah mereka sajalah yang merupakan “Dar al Islam”, sedangkan
daerah-daerah Islam lainnya merupakan “Dar al Herb”, atau “Dar al-Kufr”, karena
itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya
orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, mereka pandang
musyrik.
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Azariqah ini jelas mempunyai paham yang
sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang
sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah
kaum musyrik yang harus diperangi.
Oleh
karena itu kaum al-Azariqah, sebagaimana disebutkan oleh ibn al-Hazm, selalu
mengadakan “istri’radh”, yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan
seseorang yang mereka jumpai. Kalau orang tersebut mengaku sebagai orang Islam,
tetapi tidak termasuk dalam golongan al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.
3. Al-Nadjat
Nama
golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah
ibn “Amr al-Hanafi”. Ia berasal dari daerah Yamamah.
Menurut
Al-Bagdadi, pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang
al-Azariqah, tetapi karena dalam kalangan al Azariqah ini timbul perpecahan,
maka mereka tidak jadi menggabungkan diri dengan al- Azariqah. Perpecahan dalam
kalangan al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut
Nafi’ibnal-Azraq, diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal- Tawil dan ‘Atiah
al-Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut
al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka, pandang
sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam golongan
al-Azariqah, bahwa anak- anak dan istri-istri orang yang tak sepaham dengan
golongan al-Azariqah itu boleh dibunuh.
Setelah
memisahkan diri dari Nafi’ Abu Fudaik dan kawan-kawannya pergi ke Yamamah.
Disinilah mereka dapat membujuk Najdah bergabung dengan mereka dalammenentang
Nafi’, sehinggah Najdah dan pengikut- pengikutnya membatalkan rencana untuk
hijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Selanjutnya Abu Fudaik dan
pengikut-pengikutnya Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn ‘Amir al-Hanaf’
sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ‘ibn al-Azraq sebagai
Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi’ telah menjadi kafir, dan orang-orang
yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga.
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah
kelihatan yang pertama kali membawa paham taqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan
atau menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan
dirinya dari musuhnya.
Taqiyah
menurut pandangan mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga
dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh
melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia
bukan orang Islam, tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut agama Islam.
Di
kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikut-pengikut al-Najdat.
Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdat itu tidak dapat
menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar.
Tetapi
menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama disebabkan oleh
pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak yang dilakukan oleh
Najdah terhadap Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwandari dinasti Bani Umayah.
Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta rampasan dalam
peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dulu, mereka
langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan. Hal ini
diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam Al- Quran. Dan sikap lunak yang
ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah ‘Abd al-Malik ialah bahwa dalam
serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak perempuan.
Khalifah ‘Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata permintaan itu
dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat diterima oleh sebagian pengikut-pengikut
mereka, karena Khalifah ‘Abd al-Malik adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu
Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah.
Atiah mengasingkan diri ke Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid
al-Tawil mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka
tangkap dan mereka potong lehernya.
4. Al-Ajaridah
Golongan
ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari ‘Abd Karim
ibn ‘Ajrad, yang menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari
‘Atiah al-Hanafi.
Menurut
al-Bagdadi, paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan
golongan-golongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah
bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan
dalam paham al-Azariqah dan paham al-Nadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah
merupakan kebajikan saja. Dengan demikian kaum Ajaridah bebas tinggal dimana
saja di luar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang
kafir. Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang,
menurut mereka, hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh.
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat
Yusuf dalam Al- Quran membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka Al- Quran
sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oelh karena itu
mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.
5. Al-Sufriyah
Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan
ini ialah Ziad ibn al-Asfar. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan
Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingankan dengan yang
lain. Diantara pendapat-pendapat mereka itu ialah :
1) Orang sufriyah yang tidak berhijrah
tidak dianggap menjadi kafir.
2)
Mereka
tidak sependapat, bahwa anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh.
3) Selanjutnya tidak semua orang
sufriyah sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada diantara
mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu daosa yang diancam
dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak diancam
dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat, seperti
dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang berbuat
dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang paham
moderat.
mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut :
a) Orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula
musyrik, mereka itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh
diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka
dapat diterima. Membunuh mereka
haram hukumnya.
b) Daerah orang
Islam yang tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah,kecuali markas pemerintah,
merupakan afar
al-tawhid, yaitu daerah orang yang
meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi.
Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar
al-kufr, karena itu harus diperangi.
c)
Orang
Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut oran muwahhid, yaitu orang yang
meng- Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin.Dengan demikian orang
Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya
dari Islam.
d)
Harta
yang boleh dijadikan ghanimah (harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja.
Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya. Tidak mengherankan kalau
paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak
mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah.
Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik
ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah
sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada
waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim. Oleh
karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal
dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan
terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan. berbuat dosa
golongan kedua itulah yang dipandang kafir.
Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka, tidak dianggap
sebagai dar al- harb, yaitu daerah yang harus diperangi. Menurut mereka, daerah
yang boleh diperangi itu hanya daerahma’askar, yaitu markas- markas pasukan
musuh. Anak-anak dan wanita-wanit tidak boleh dibunuh atau dijadikan tawanan.
e) Menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan
kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu
kufur karena mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak
selamanya sebutan kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam.
f)
f.
Menurut mereka,taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan saja, dan tidak
boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi sungguhpun demikian, untuk menjaga
keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh kawin dengan laki- laki kafir,
apabila dia berada di daerah bukan Islam.
6. Al-Ibadiyah
Nama
golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad.
Pada mulanya dia adalah pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M,
ia memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.
Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang
paling moderat di bandingkan dengan golongan-golongan khawarij lainnya.Paham
moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut :
a) Orang Islam
yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula
musyrik, mereka itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh
diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka dapat
diterima. Membunuh mereka
haram hukumnya.
b) Daerah orang
Islam yang tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah, kecuali markas
pemerintah, merupakan
afar al-tawhid, yaitu daerah orang yang
meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi.
Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar
al-kufr, karena itu harus diperangi.
c)
Orang
Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut oran muwahhid, yaitu orang yang
meng- Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin. Dengan demikian orang
Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya
dari Islam.
d) Harta yang boleh dijadikan ghanimah
(harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada yang empunya. Tidak mengherankan kalau paham moderat
seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak mau turut
dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah. Bahkan
sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah
sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada
waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim. Oleh
karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal
dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan
terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.
2.5
I’tikad Kaum Khawarij yang Bertentangan dengan I’tikad
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah
Pada awalnya munculnya kaum Khawarij hanya mempersoalkan khalifah
dan tahkim, namun kemudian merembet – rembet kepada soal – soal i’tiqad dan
kepercayaan sehingga dalam dunia islam munculah yang disebut dengan paham kaum
Khawarij.
Setiap orang islam harus mengetahui macam dan bentuk
paham kaum Khawarij, khususnya yang bertentangan dengan paham Ahlussunnah Wal
Jamaah, dengan tujuan agar kita terhindar dari paham yang keliru dari paham
Khawarij ini.
Memang golongan Khawarij ini sudah hilang dibawa arus
sejarah tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana - mana, sehingga kita harus
waspada supaya tidak terbawa arus yang tidak sesuai dengan paham Ahlussunnah
Wal Jamaah.
Adapun beberapa i’tiqad kaum Khawarij yang bertentangan
dengan i’tiqad kaum Ahlussunnah Wal Jamaah adalah sebagai berikut:
1.
Persoalan Khalifah
Kaum khawarij
mengakui khalifah – khalifah Abu Bakar, Umar, dan separuh zaman daru khalifah
utsman bin Afan. Pengangkatan ketiga khalifah itu dianggap syah sebab sudah
dilakukan dengan “Syura”. Tetapi separuh yang akhir dari khalifah utsman tidak
diakui mereka lagi, karena Utsman menyeleweng. Begitu juga khalifah Ali mulanya
pengangkatannya syah tetapi kemudian membuat kesalahan besar yakni menerima
“Tahkim” dan Ali menjadi kafir karena menerima tahkim itu adalah dosa dan siapa
yang membuat dosa menjadi kafir.
Hal ini ditentang
oleh kaum Ahlussunah Wal Jamaah karena penyelewengan – penyelewengan yang tidak
membahayakan rakyat umum kalau umpamanya betul ia menyeleweng tidaklah
menggugurkan pangkat khalifah. Yang menggugurkan pangkat khalifah ialah kalau
khalifah itu telah “Tahajur” (dihadapan umum berbuat maksiat) dan menganjurkan
rakyat mengikutinya.
2.
Terhadap
Ummul Mu’minin
Sitti ‘Aaisyah Rda
Kaum kawarij mengutuk dan mencaci maki,
kadang-kadang mengkafirkan Ummul Mu’minin Sitti ‘Aisyah. Thalhah dan Zuber bin
‘Awam, karena ketiganya menggerakkan peperangan “jamal” yaitu antara
beliau-beliau itu dengan Saidina ‘Ali, begitu juga kaum khawarij menghukum
kafir Abu Musa al ‘ari dan ‘Amru bin ‘Ash, yaitu ketua-ketua delegasi pada masa
tahkim.
3.
Cap
“Kafir”
Satu keistimewaan I’tiqad kaum khawarij
ialah lekas-lekas menuduh “kafir” bagi orang-orang yang tidak suka
mengikutinya.
Nafi’I bin Azraq, yang digelari Amirul
Mu’minin oleh kaum Khawarij mewafatkan bahwa sekalian orang yang membantahnya
adalah kafir yang halal darahnya, halal hartanya dan halal anak istrinya.
Dalil yang mereka pakai untuk pendrian
ini ialah firman Allah dalam surat
nuh ayat 26-27.
Yang artinya: “ Nuh berdoa:
Wahai Tuhanku jangan Engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat tinggal
dimuka bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang
jahat dan tidak tahu berterima kasih. (
Nuh : 26-27).
Inilah paham yang sangat keterlaluan dari
orang-orang Khawarij yang memakai ayat-ayat untuk orang-orang kafir bagi orang
islam yang menjadi lawan-lawan politiknya. Kaum Ahlusunnah tidak lekas-lekas
mengkafirkan orang lain, walaupun orang itu menentang pendapatnya , karena
kalimat “kafir” itu adalah kalimat yang hebat, yang dapat menentukan kecelakaan
manusia yang abadi dunia akhirat.
4.
Ibadat
= Iman
Kaum Khawarij berpendapat bahwa yang
dikatakan iman itu bukan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja,
tetapi amal ibadat menjadi rukun iman pula.
Barang siapa yang tidak sembahyang,
puasa, sholat, zakat dan lain-lain maka orang itu kafir, kata kaum Khawarij.
Pendeknya bagi kaum Khawarij sekalian
orang mu’min yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir,
wajib di perangi dan boleh dibunuh , boleh di rampas hartanya.
Oleh karena Saidina Mu’awiyah sudah
membuat dosa dengan melawan kepada Khalifah yang syah yaitu Saidina ‘Ali Kw.
Maka kaum Khawarij mencap Saidina Mu’awiyah dan pengikutnya dengan kafir dan
wajib diperangi.
Sitti ‘Aisyah karena melawan Khalifah Ali, adalah kafir.
Demikian pendirian kaum Khawarij.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah,
berpendirian bahwa rukun Iman itu hanyalah dua, yaitu membenarkan dalam hati
dan mengikrarkan dengan lisan.
Adapun amal ibadat, seumpama sembahyang
, puasa, zakat, dan lain-lain, maka itu untuk kesempurnaan iman. Orang yang
sembahyang dan mengerjakan amal ibadat sebaik-baiknya maka orang itu adalah
orang mu’min yang sempurna.
5.
Orang
Sakit dan Orang Tua
Kaum Khawarij menfatwakan bahwa orang-orang
sakit atau orang yang sudah tua yang tidak ikut perang sabil maka orang itu
menjadi kafir, wajib di bunuh.
Paham ini sangat keliru dan k arena itu di tentang oleh kaum
Ahlussunnah wal jama’ah. Orang-orang sakit dan orang-orang yang sudah tua tidak
wajib pergi perang sabil, karena ia tidak menjadi kafir karena tidak ikut.
Firman Allah dalam
surat Al – fath ayat 17 yang artinya:“tidak mengapa bagi
orang buta, tidak mengapa bagi orang pincang tidak mengapa bagi orang sakit (kalau mereka tidak ikut ke
medan perang)” (Al Fath:17)
6.
Dosa
Kecil dan Dosa Besar
Kaum Khawarij menfatwakan bahwa sekalian
dosa, adalah dosa besar, tidak ada yang namanya dosa kecil atau dosa
besar. Sekalian pendurhakaan kepada
Tuhan adalah besar, tidak ada yang kecil menurut kaum khawarij.
Paham ini di tentang oleh kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah karena di dalam al- qur’an di nyatakan terus terang,
bahwa ada dosa besar dan dosa kecil yang di namai “ sai yiaat”.
Firman Allah dalam surat
An – nisa ayat 31 yang artinya:“ jika kamu jauhi
larangan-larangan yang besar , kami ampuni saja “sai-yaat”-mu (dosa-dosa
kecil).( An Nisa’ :31)
Jadi, sudah terang ada dua macam dosa, satu di namai besar dan yang satu lagi dinamai sai-yiaat yaitu
kejahatan kecil
Tuhan menjelaskan
di sini,bahwa kaluau yang besar kita jauhi maka yang kecil-kecil atau dosa
kecil-kecil diampuni
saja,tetapi kalau dosa yang besar tidak
dijauhi maka dosa yang kecil akan dihukum juga.,
Ini suatu rahmat dari Tuhan kepada Manusia.walaupun mereka berbuat
dosa,tetapi dosa itu bukan besar,maka tuhan yang pemurah bisa mengampuni saja.
Dosa-dosa besar itu
tidak seberapa,diantaranya yang 7 macam di bawah ini :
1.
Syirik,mempersekutukan
Tuhan.ini yang paling besar
2.
Memakai
atau menjalankan sihir.
3.
Membunuh
manusia tanpa hak.
4.
Memakan
atau menghabiskan harta anak yatim.
5.
Memperanakkan
uang atau uang riba.
6.
Lari
dari medan pertempuran perang sabil.
7.
Menuduh
Curang Pada Wanita yang Baik.
Inilah dosa
besar,Hampir semua bertalian dengan orang lain.kecuali nomor satu yang
bertalian dengan Tuhan. Banyak hadist-hadist Nabi,di mana diperkatakan dosa
besar dan dosa kecil.
Fatwa kaum Khawarij
nampaknya mempunyai latar belakang yang jahat,yaitu dengan magsud agar sekalian
orang Islam lawan-lawannya dapat di perangi dan dapat di rampas hartanya,dengan
dalil mereka membuat dosa dan setiap orang berbuat dosa adalah kafir.
Menurut i’tiqad
kaum ahlussunnah,bahwa setiap orang islam yang membuat dosa tidak menjadi
kafir.ia tetap islam tetapi muslim yang durhaka.
Muslim yang durhaka
itu akan dihukum diakhirat untuk sementara dan setelah selesai menjalankan
hukumannya akan dokeluarkan dan dimasukkan kedalam syurga.
Tersebut dalam
Hadist Bukhori yang artinya artinya:
“Dari Abi Sa’id al
khudri,dari Nabi Muhammad SAW,beliau berkata : Maka masuklah penduduk syurga ke
syurga dan penduduk nerraka ke neraka,kemudianTuhan berkata (kepada malaikat):
kelurkan dari neraka orang-orang yang ada dalam hatinya setimbang biji sawi
keimanannya,maka di keluarkan sekalian mereka dsari dalam neraka”. (HSR
Bukhori-Sahih Juz 1,hal 11).
7.
Anak-Anak Orang Kafir
Menurut fatwa kaum
Khawarij,bahwa anak-anak orang kafir kalau mati kecil masuk neraka juga,karena
ia kafir mengikuti ibuk bapaknya. I’itiqad
ini ditentang oleh kaum Ahlussunnah wal jama’ah yang berpendapat bahwa
anak-anak orang kafir yang meninggal selagi ia masih kecil akan dimasukkan
kedalam syurga,bukan ke dalam neraka. Hal ini tidak sesuai dengan keadilan
Tuhan karena menghukum anak kecil dengan dosa ibu bapaknya.Setiap orang hanya
dihukunsesuai dengan dosanya
masing-masing. Dan lagi sewaktu di alam dzar anak-anak orang kafir telah
mengakui bahwa tuhan hanya Allah (bacalah kitab-kitab tafsir dalam menafsirkan
ayat ke 172 dalam surat Al A’raaf). Anak kecil belum bersalah,walaupun anak
orang kafir,begitulah i’itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Melihat
faham-faham kaum Khawarij ini ternyatalah bahwa mereka sangat radikal,sangat
keras dan keterlaluan. Sifat yang macam ini tidak sesuai dengan kesopanan dan
sifat Islam.karena Islam itu diturunkan ke dunia adalah untuk membawa
kerahmatan,bukan membawa siksaan,mempunyai kebijaksanaan bukan serampanga. Oleh karena itu faham
Khawarij ini tidak laku dikalangan jumhur ummat Islam di Dunia.
8.
Orang yang Paling Buruk
Tersebut dalam
kitab Hadist Bukhari,bahwa sahabat Nabi Ibnu Umar Rda.berpendapat,bahwa
orang-orang Khawarij dan i’itiqadnya adalah orang-orang yang paling buruk. Kami
nukilkan dibawah ini apa yang tersebut dalam kitab Hadist Bukhari yang artinya: “Dan adalah sahabat nabi Ibnu
Umar Rda.berpendapat,bahwa mereka (kaum khawarij)makhluk allah yang paling
jahat,mereka mengambil ayat-ayat Qur’an yang sebenernya turun untuk orang
kafir,tetapi dipasangkanya kepada orang mu’min”. (Fathul Bari Juz XV halaman
313).
Dalam menerangkan
perkataan ibnu Umar ini,imam ibnu hajar Asqalani menyatakan,bahwa dalam hadist
yang diriwayatkan oleh imam Thabari diterangkan,bahwa seorang bernama Asyaj
bertanya kepada Nafi’i,bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang orang-orang
Khawarij yang berkumpul di Haruriyah?Abdullah bin Umar menjawab,bahwa
mereka,adalah makhluk yang paling buruk,karena mereka memakai ayat-ayat Qur’an
yang sebetulnya menerangkan hal-hal orang kafir dan di pasangkannya kepada
orang mi’min. (Fathul Bari Juz 15 halaman 313).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perang Siffin membawa akibat
terjadinya berbagai perubahan, terutama mengenai perubahan system politik
kenegaraan dan timbulnya golongan-golongan di kalangan Umat Islam yang satu
sama lain saling bertentangan.
Perang Siffin meletus akibat dari
politik yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan pada masa menjelang akhir
pemerintahannya, dimulai dari perang Siffin inilah kaum Khawarij muncul. Persoalan politik terus berlanjut
dan bahkan makin berkembang setelah usainya perang Siffin, yang akhirnya
membawa kepada timbulnya persoalan- persoalan Theologi.
Golongan khawarij memandang Ali,
Mu’awiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari dan lain-lain sudah keluar dari
Islam, bahkan dianggap murtad dan wajib dibunuh.
Sesuai dengan firman Allah dalam Surah An-Nisa : 100, Khawarij
merupakan suatu kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampong halam mereka
untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk memperolah pahala
dari Allah SWT. Kaum Khawarij memisahkan diri dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib,
karena mereka tidak setuju dengan sikapnya yang menerima tahkim (arbitrase)
dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Akan
tetapi dalam pertemuan dengan kekuatan Ali, kaum khawarij mengalami kekalahan besar,
tapi akhirnya Ibn al- Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib.
Di kemudian hari kaum Khawarij
terpecah-pecah dalam beberap sub-sekte, di antaranya ialah : 1) Al-Muhakkimah, 2) Al-Azariqah, 3)
Al-Najdat, 4) Al-Ajaridah, 5) Al-Sufriyah, 6) Al- Ibadiyah.
Adapun beberapa
i’tiqad kaum Khawarij yang bertentangan dengan i’tiqad kaum Ahlussunah wal
Jamaah adalah mengenai persoalan
khalifah, terhadap ummul mu’minin sitti
‘aaisyah rda, cap
“kafir”,
ibadat = iman,
dosa kecil dan dosa besar,
anak-anak orang kafir, orang yang paling buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Abdul, 1995. Konsepsi
Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Bidang Akidah dan Syaria’ah. Pekalongan: CV
Bahagia Agency.
Maksum Ali, 1999. Hujjah
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta.
Comments
Post a Comment