Dalam dunia pendidikan kita diharuskan untuk membuat perangkat pembelajaran agar cara belajar dan mengajar bisa epektif dan berjalan dengan baik. Seorang pendidik selain harus mampu atau menguasai bidang keahliannya atau jurusan pendidikan yang diampunya maka dituntut harus mampu pula membuat perangkat pembelajaran. kenapa seperti itu, karena dengan perangkat pembelajaran maka kita akan mudah mengelola kelas dengan baik, dalam artian sebelum masuk ke kelas maka kita sudah menyiapkan segala macam kebutuhan dengan persiapan yang matang. Berikut beberapa perangkat pembelajaran yang harus disiapkan oleh pendidik sebelum dia masuk ke ruangan kelas: 1. Pekan efektif ini biasanya didapatkan dengan melihat kalender pendidikan 2. Prota atau sering dikenal dengan program tahunan 3. Promes atau program semester Silabus 4. RPP (Rencana Perangkat Pembelajaran) Format penilaian 5. Buku materi pembelajaran itu adalah hal-hal yang dibutuhkan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Selain itu
DIATAS
BALUTAN KESEDERHANAAN
Hari berganti hari,
tahun demi tahunpun dilalui bu Hartini dengan segala keterbatasan dan
kesederhanaan. Sang suami yang hanyalah sekedar tukang kuli bangunan, tak tentu
penghasilannya, pekerjaannyapun musiman harus menunggu orang kaya yang mau
membangun rumah atau atap bertingkat.
Sebuah kesederhanaan tak jadi
penghalang bagi bu Hartini untuk selalu tersenyum kepada kedua anaknya, yang
tiap pagi meminta uang jajan dan ongkos berangkat sekolah. Belum lagi tiap
minggu harus dihadapkan dengan bu Parto yang selalu ngoceh nagih hutang.
“Andai saja punya uang mungkin sudah
ku lunasi sejak dulu bu, tak usah sampean repot – repot mengeluarkan kata –
kata kotorpun akan ku lunasi.” Cerca bu Hartini dalam hati, bila mengingat kata
– kata bu Parto yang selalu habis – habisan menghina dirinya.
Hidup dizaman sekarang serba mahal,
tak ada yang gratis! Hiruk pikuk kejamnya ibu kota membuat orang stress dan
banyak yang kehilangan akal sehatnya. Lihat saja banyak para petinggi negri ini
yang korup dan tak tanggung – tanggung memakan uang rakyat bermiliar – miliar.
Ditambah sekarang – sekarang ini heboh dengan isu para petinggi kita banyak
yang berpoya – poya dan bersolek, bahkan merenovasi bangunan tempat kerjanya
dengan anggaran bermiliar – miliar rupiah. Sementara itu rakyat merana dengan
segala kesengsaraan dan kesederhanaan yang ada. Bahkan untuk mendapatkan sesuap
nasipun mereka harus kerja banting tulang seharian penuh, atau harus menahan
sakitnya rasa lapar sampai berhari – hari. Seperti halnya bu Hartini yang
setiap harinya hanyalah buruh tukang cuci pakaian, karena tak ada keahlian lain
yang didapatnya. Sungguh ironis
bukan,,,! Tapi sudahlah mungkin inilah yang dikatakan orang sebagai zaman haus
akan kepedulian.
“Assalamu’alaikum.” Dinda mengucap
salam sembari mencium tangan sang ibu.
“Waalaikum salam,, gimana di
sekolahh tadi?” tanya sang ibu ke anak bungsunya yng centil itu.
“tadi seru bu,,disekolah mau
mengikuti olimpiade matematika seperiangan timur, Dinda minggu depan ikut olimpiade
itu bu.” Ucap sang anak dengan riang.
“Alhamdulillah,,,,emang anak ibu
pintar – pintar.” Sang ibu membanggakan anaknya.
Ya Dinda memang pintar, dia selalu
mendapat juara satu atau paling mentok dapat rengking dua. Dirinya punya tekad
kuat, cita – citanya menjadi seorang dokter. Meski dari keluarga yang kuarang
mampu, Dinda yang masih duduk di kelas 2 SMA itu punya tekad dan cita – cita
setinggi langit. Terkadang sempat terfikir olehnya, tak mungkin dirinya bisa
menjadi seorang dokter, wong hanya untuk sekedar bayar SPP bulanan saja harus
nunggak sampe tiga bulan atau empat bulan, barulah bisa terlunasi.
Namun Dinda tak putus asa, dirinya
ingat buku karya RA. Kartini yang berjudul habis gelap terbitlah terang. Kalau
dulu negri kita dijajah oleh kaum Belanda dengan sistem kerja paksa rodinya,
dan para pejuang bisa melewatinya, bahakn bisa mengalahkan para penjajah dengan
peralatan seadanya. Dikatakan dalam sejarah bangsa kita melawan penjajah dengan
bambu runcing.
“Bayangkan
bambu runcing yang sangat sederhana saja bisa melawan kaum penjajah yang
bersenjatakan meriam dan pistol berpeluru, kenapa saya tidak bisa melewati
semuanya dan maju ke depan untuk menjadi seorang dokter. Banyak cara untuk
menuju ke Roma” gumam Dinda dalam hati, bila membandingkan kehidupannya dengan
keadaan kehidupan teman – teman sebayanya di sekolah.
Lamat
– lamat Dinda mengingat pepatah gurunya yang mengatakan “Man Jadda wa jada.”
Barang siapa yng mempunyai keinginan kuat maka akan terlaksana. Ya kata – kata
itu selalu diingatnya setiap kali dirinya membaringkan tubuhnya diatas tempat
tidur yang beralaskan tikar, beranyamkan daun pandan. Tak ada kasur empuk di
rumah sederhana itu, tak ada pula kursi kokoh yang dilapisi busa walau hanya
untuk sekedar memanjakan tubuh. Dengan keadaan seperti itupun tak henti –
hentinya Dinda bersyukur masih bisa sekolah.
Sementara
itu, Dian masih sibuk dengan persiapan ujiannya. Karena dua bulan lagi ujian
akan dihadapinya. Ya ujian SMA tinggal dua bulan lagi. Dian memang baru kelas 3
SMA, hanya terpaut satu tahun padahal sebenarnya Dian dan Dinda beda 3 tahun. Namun
hal itu bukan karena Dian bodoh, tak lain dan tak bukan hal itu disebabkan
karena Dian tak punya biaya maka Dian harus berhenti dulu 2 tahun setelah lulus
SMP. Dirinya kerja di sebuah konter sebrang rumahnya. Untuk bisa masuk ke SMA
dirinya mengumpulkan uang dari hasil kerjanya, dan setelah 2 tahun barulah
dirinya bisa menginjak bangku sekolah lagi melanjutkan ke SMA.
Pagi
ini Dinda berangkat untuk mengikuti olimpiade matematika. Tak ada uang saku
lebih untuk Dinda. Hanya do’a yang bisa ibu dan ayahnya berikan untuk anaknya. Seucap
do’a dan kecupan di kening dari sang ayah dan ibunda tercinta membuatnya
bersemangat pagi ini, dan berangkat dengan penuh keriangan.
Lumayan
cerah cuaca pagi ini, secerah perasaan Dinda dan keluarganya. Di setiap pagi
hari bu Hartini memang selalu dipanggil orang – orang disekitar rumahnya untuk
sekedar bantu – bantu beres – beres rumah atau mencuci pakaian, uangnya lumayan
bisa untuk sekedar ongkos dan jajan ke-dua anaknya sehari - hari.
Sementara
itu, sang suami hari ini diminta ikut kerja membangun sebuah bangunan
bertingkat yang akan dijadikan sebuah swalayan, sekitar 2 Km dari rumah yang
ditempatinya. Sang suami berangkat menuju tempat yang akan dibangun itu.
“trimakasih
bu..! ini uang bayarannya, besok ibu ke sini lagi ya, tapi kalau bisa besok
agak pagi, soalnya saya besok harus berangkat kerja lebih pagi.” Ujar bu Heni,
sambil mengulurkan uang Rp. 10.000’-an 2 lembar, yang merupakan upah harian bu
Hartini.
“ia
bu insyaAllah, saya usahakan.” Ujar bu Hartini sembari berpamitan pulang.
“assalamu’alaikum.”
Dian membuka pintu menuju rumah.
“waalaikum
salam! Mana Dinda ko gak pulang bareng?” tanya sang ibu ke Dian yang tak lain
kakaknya Dinda.
“wah,,,wah,,,ibu
ini gimana, ! kan Dinda ikut olimpiade bu,,,jadi pulangnya sore atau malaem
bu.” Jawab Dian.
“Ooooh...gitu
ya Ian..! maklum saja ibu’kan dulu gak mengenyam bangku sekolah seperti kalian,
SD saja ibu tak tamat, jadi kagak ngarti yang kaya gitu.” Ujar sang ibu.
“meski
bagaimanapun ibu adalah ibu yang paling baik yang ada di dunia ini,! Karena
ibu, kami sekarang bisa mengenyam dunia pendidikan. Semoga saja kita berdua
bisa membalas pengorbanan ibu selama ini.” Tutur Dian penuh harap.
“ia
ibu selalu berharap dan berdo’a semoga kalian bisa lebih baik dari ibu. Jangan mau jadi orang susah, makanya kalian
sekolahnya harus yang bener supaya gak jadi orang susah kaya sekarang ini.”
Cuaca
sore ini mendung seakan mau hujan, langit – langit berawankan hitam menandakan
akan segera datangnya hujan deras.
‘bu....bu...bu
Hartini,,,!” Suara bu Parto berteriak – teriak dari kejauhan memanggil –
manggil, sudah sangat akrab ditelinga bu Hartini.
“ada
apa bu? Bukannya ini bukan hari minggu! InsyaAllah minggu besok saya lunasi
hutang – hutang saya bu! Suami saya sekarang sedang kerja, nanti kalau sudah
gajian saya bayarkan langsung ke ibu.” Tutur bu Hartini agak heran, karena
kedatangan bu Parto yang mendadak padahal bukan waktunya nagih hutang.
“bukan
masalah itu Har...! saya ke sini mau ngasih tau kalau suamimu jatuh dari gedung
lantai dua! Kebetulan saya tadi lewat ke tempat kerja suamimu! Sekarang suamimu
mau di bawa ke rumah sakit Bakti Husada katanya.” Ujar bu Parto sembari ngos –
ngosan.
“Astaghfirullahaladzim.,,,,,,,!” Dian dan bu Hartini kaget dan langsung menuju
ke rumah sakit yang dimaksud.
Lama
menunggu dokter yang memeriksa keadaan sang suami. Bu Hartini tak henti –
hentinya berdo’a dalam hati dan terus – terusan beristighfar, begitu pula
dengan Dian yang cemas akan keadaan sang ayah. Tak lama kemudian dokter keluar
dari ruangan UGD itu.
“bagaimana
keadaan suami saya dok?” tanya bu Hartini dengan nada yang sangat cemas.
“mohon
maaf ibu,,,,! Kami sudah berusaha sebisa mungkin, namun tuhan berkata lain,
terlalu banyak darah yang keluar, bapak tidak bisa bertahan, beliau telah
tiada.” Dokter itu berkata dengan sangat iba.
Seketika
itu pula bu Hartini lemah lunglai, air matanya menetes dan tak sadrkan diri.
Dian memapah ibunya, walau kondisis dirinyapun lemas lunglai ketika mendengar
sang ayah telah tiada! Namun Dian harus tetap bertahan.
Hari
sudah mulai malam, ya sudah jam 21.00, sudah lumayan malam. Keadaan rumah yang
sederhana itu terlihat ramai dan terang dengan lampu – lampu. Dinda yang baru
datang dari olimpiade dengan membawakan piala juara satu, diantar oleh seorang
kepala sekolah terheran – heran mengapa rumah itu terlihat ramai lalu lalang
orang kesana kemari.
“Ataukah
memang orang rumah sudah tahu kalau dirinya mendapat juara satu hingga mereka
melakukan syukuran? Tapi sepertinya itu tak mungkin karena tak ada seorangpun
yang menemaninya ikut olimpiade itu kecuali bapak kepala sekolah dan wali
kelasnya! ” fikir Dinda dalam hati.
Tak
banyak tanya, Dinda langsung masuk! Tapi ternyata yang dilihatnya sang ayah
sudah terkujur kaku dibungkus kain kapan. Pucat pasi wajah Dinda ketika matanya
melihat sang ayah sudah tiada bernyawa, semuanya serasa mimpi buruk. Tadi pagi
menjelang keberangkatan sang ayah masih hangat mengecup keningnya. Dinda
histeris menangis dan memeluk sang ayah yang terkujur kaku.
Keadaan
rumah sederhana itu kini ramai dengan tangisan dan bacaan ayat – ayat suci
Al-Qur’an, ramai hingga pagi hari lagi karean pemakaman dilaksanakan esok
paginya.
Sepeninggal
ayah tercinta, hari – hari mereka cukup berbeda. Mungkin karena belum terbiasa,
bahkan sesekali sang ibu yang terbiasa tiap pagi menyiapkan pisang goreng dan
teh manis untuk ayah sebagai sarapan pagi, tak sadar kalau ayah sudah tiada.
Sekitar satu minggu ibu selalu menyiapkan pisang goreng kesukaan ayah, bila
sudah ingat akan hal itu ibu menangis ke kamar dan tak mau makan.
Tiga
minggu telah berlalu,,,,meski masih sedih dan merasa kehilangan namun tak
mungkin kalau harus terus – terusan berdiam diri dan tak beraktivitas. Kini
hari – hari itu dilaluinya tanpa sang ayah. Mereka berusaha tegar, karena tak
ada sesuatu apapun di dunia ini yang kekal dan abadi, semua mahluk pasti akan
kembali pada-NYA.
Sang
ibu hanya bisa menangis disetiap malam melihat anak – anaknya tertidur lelap
tanpa dosa. Mereka punya harapan dan cita – cita setinggi langit, ingin setara
dengan orang lain. Di sepertiga malam sang ibu tak henti – hentinya bersujud
pada sang ilahi, menangis dan mengeluarkan segala keluh kesahnya. Sang suami
yang selalu menafkahinya kini telah tiada. Bagaimana dengan biaya anak –
anaknya, bagaimana dengan kelanjutan pendidikan anak – anaknya dan bagaimana
pula dirinya bisa ngasih makan anak – anaknya. Sementara dirinya hanyalah
seorang tukang buruh cuci pakaian, yang penghasilannya hanya cukup untuk
sekedar makan sekali saja.
Dua
minggu lagi ujian akan tiba, namun Dian tak kunjung pula bayar uang ujian.
Bukan tak ingin mengikuti ujian namun keadaan keluarganya yang kini sangat
sulit. Minta uang ke ibu tak mungkin dilakukannya, untuk sekedar makan sehari –
hari saja kini sangat sulit. Sesekali ibunya membiarkan dirinya dan adiknya
makan dengan lauk ikan, namun ibunya hanya makan dengan sambal tomat saja.
“kenapa
ibu makan hanya dengan sambal bu? Ini buat ibu sebagian ikannya.” Ujar Dian dan
Dinda kala melihat ibunya hanya makan dengan sambal tomat saja.
“sudah
makan saja! Ibu lagi tak mau ikan, takut ngantuk nanti malah tidur pas ibu
kerja bantu – bantu tetangga! Lebih enak makan sama sambal tomat ini, pedas
membuat mata ibu sumringah, biar kepala gak pusing! Kaliankan tahu ibu suka
pedes, sudah makan saja!!”. Ya seperti itulah yang dikatakan ibu, padahal Dian
dan Dinda tahu betul ikan adalah lauk kesukaan ibunya.
Sungguh
seorang ibu memang selalu siap berkorban untuk anak – anaknya, nyawa jiwa dan
raga pun mereka pertaruhkan untuk anak – anaknya.
“Din..mas
bingung, 2 minggu lagi mas ujian, tapi sepertinya ibu tak punya uang! Bisa
makan saja sudah untung, apa sebaiknya mas berhenti sekolah saja ya Din?” gumam
Dian ke adik tercintanya yang sedang mencuci piring di dapur sederhana itu.
“jangan
mas,,,jangan berhenti! Eman mas,,,sampean selama ini sudah berjuang berhentu 2
tahun untuk bisa masuk SMA, tapi sekarang mau menyerah begitu saja ditengah
perjalanan, padahal hanya tinggal ujian saja.”
“terus,,,bisa
dapat uang dari mana, untuk bayar ujian Din? Tabungan mas aja masih kurang.”
Keluh Dian putus asa.
“Dinda
ada sedikit tabungan mas! Sampean pake saja dulu,,! Sebenarnya uang itu mau
Dinda paki untuk beli mukena,, tapi tak apalah kan mukena Dinda masih ada dan
masih bisa dipakai! Ujian mas lebih penting, pakai saja uang Dinda.”
“Ia
Din...makasih! kau memang adiku yang sangat baik, aku sangat menyayangimu.”
Ujar Dian sembari memeluk adiknya.
“sudahlah
mas,,,itulah gunanya saudara! Kita harus saling bantu.”
Singkat
cerita pengumuman hasil ujian akan diumumkan esok hari. Dian merasa sangat
deg-degan, meski Dian terbilang pintar di kelasnya namun kemungkinan yang ada
adalah lulus atau tidak lulus. Tak sabar Dian menunggu hari esok.
Malam
haripun Dian sulit tidur! Di sepertiga malam Dian terbangun. Untuk menghilangkan
rasa gundahnya itu Dian salat tahajud
dan tak henti – hentinya berdo’a semoga dirinya dinyatakan lulus.
Pagi
hari telah tiba! Hasil ujianpun akan segera dipampang di mading sekolah. Ketika
pengumuman ujian itu di pampang di mading Dian sangat sulit sekali melihatnya,
karena harus berdesak – desakan dengan teman – teman yang lainnya, yang sama –
sama ingin melihat hasil ujian kelulusannya.
Dengan
susah payah akhirnya Dian bisa melihat pula hasil kelulusannya. Alhamdulillah
dirinya dinyatakan lulus. Tak sia – sia perjuangannya selama ini. Tak henti –
hentinya dirinya mengucap syukur, melafalkan ucapan alhamdulillah berulang –
ulang.
Keadaan
sekolah riuh ramai dengan teriakan anak – anak! Tak lama kemudian salah satu
guru membunyikan sirine tanda ada pengumuman.
“assalamu’alaikum,,,!
Anak – anak mohon perhatiannya sebentar! Di papan pengumumuman yang terpampang
terdapat keganjilan,,,maka dari itu kepada saudara Dian Hidayat dimohon untuk menghadap ke ruangan bapak
kepala sekolah sekarang juga.”
Pengumuman
itu cukup mengagetkan teman – teman Dian terutama dirinya yang di panggil untuk
menghadap bapak kepala sekolah. Pucat pasi wajah Dian setelah dikatakan bahwa
ada keganjilan dengan pengumuman tersebut. Dirinya tak kuasa ingin berteriak
dan menangis.
“tuhan
inikah akhir perjuanganku selama ini! Sia-siakah perjuanganku? Apa yang harus
ku katakan pada adik dan ibuku bila diri ini ditanya bagaimana
pengumumannya?sementara sekarang ada keganjilan dengan pengumuman kelulusanku.
Percuma aku ikut ujian juga, bahkan telah menghabiskan uang tabungan Dinda!”
fikiran Dian berlarian kesana kemari dan tak karuan.
Sementara
itu teman – temannya terkaget – kaget dan tercengang dengan pengumuman itu!
“yang
sabar ya Dian,,,! Meskipun kamu tidak lulus tapi ada jalan lain ko,,nanti kamu
bisa ikut paket C, ikut ujian lagi saja nanti ya.” Ucap salah seorang temannya
seakan mengetahui apa yang sedang difikirkannya.
Tak
banyak bicara Dian langsung menuju ruang bapak kepala sekolah. Dengan gugup dan
gemetar Dian berusaha menghampiri bapak kepala sekolah yang sedang duduk di
ruang kerjanya. Ada rasa takut, rasa malu dan gugup bertemu dengan bapak kepala
sekolah itu.
“silahkan
duduk!” ujar bapak kepala sekolah ketika melihat Dian menghampiri dirinya.
‘ia
pak terimakasih!” ujar Dian sembari merunduk menahan tangisannya.
“Kalau
boleh tahu pengumuman di mading tadi kamu lulus atau tidak?” bapak kepala
sekolah mengawalai pertanyaannya dengan hati – hati.
“ia
pak di papan pengumuman saya lulus,,,namun katanya terjadi keganjilan dengan
pengumuman itu.” Ujar Dian sembari menunduk dan meneteskan air mata.
“Begini
Dian,,maksud bapak guru terjadi keganjilan dengan hasil ujian kamu adalah adanya
perbedaan nilai yang sampai ke sekolah dengan nilai kamu yang sebenarnya.”
Sahut bapak kepala sekolah.
“jadi
bener pak saya tidak lulus?” Dian bertanya memotong perkataan bapak kepala
sekolah itu, sembari menangis dan tak henti – hentinya meneteskan air mata,
tangannya terasa basah dan wajahnya mulai pucat.
“tidak
seperti itu,,,!Dian,,,,nilai ujian kamu adalah nilai terbaik sekabupaten!”
“masa
sich pak,,,? Yang benar pak? Bapak bohong atau bagaimana sich ini? Katanya tadi
terjadi keganjilan dengan hasil ujian saya? Atau bapak hanya menghibur saya
pak? Supaya saya tidak sedih! Sudahlah pak berkata jujur saja daripada bapak
bohong ke saya tapi nanti malah bilang ke kelurga saya bahwa saya tidak lulus.
Kasihan ibu saya pak, beliau bisa sakit bila mendengar ini!jangan bilang ke
keluarga saya” Dian merasa dipermainkan dan dirinya merasa kebingungan dengan
semua itu.
“benar
Dian,,bapak tidak bohong nilai kamu nilai terbaik sekabupaten!! Bapak sangat
bersyukur ternyata nilai terbaik itu didapatkan oleh siswa sekolah ini, yaitu
kamu.” Ujar bapak kepala sekolah itu meyakinkan Dian.
Dian
yang dari tadi tergugup – gugup dan sempat menangis serta sempat pucat pasi
karena mengira dirinya dinyatakan tidak lulus karena terjadi keganjilan kini
berubah 180 derajat menjadi senang, dirinya menangis dan mencium tangan bapak
kepala sekolah itu. Namun tangisan itu bukan tangisan rasa sedih melainkan
tangisan bahagia. Seketika itu tak lupa pula dirinya langsung sujud syukur
sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan oleh yang maha kuasa. Atas
keagunggan-NYA dirinya bisa mendapatkan nilai terbaik sekabupaten.
Seketika
itu Dian mendapatkan berbagai tawaran beasiswa untuk masuk perguruan tinggi
negri. Akhirnya Dian mengambil jurusan Akuntansi sesuai dengan cita – citanya.
Selama perkuliahan berlangsung Dian memang cerdas dan sangat cepat memahami
penyamapaian materi yang diberikan oleh dosen – dosennya. Bukan hanya sekedar
kuliah yang didapatinya namun dirinya juga ditawari dengan berbagai pekerjaan,
dari mulai menjadi tentor bimbel, asdos dan kini dirinya ditawari menjadi
seorang Dosen. Kuliah sambil kerja yang dilakukan Dian, hal itu dilakukannya
tiap hari.
Lima
tahun telah berlalu! Dian kini sudah lulus kuliah dan berhasil menguliahkan adiknya
dari hasil pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Ya adiknya kini masuk perguruan
tinggi negri dengan mengambil jurusan
kedokteran sesuai dengan cita – citanya dari kecil. Kini adiknya sudah mulai
menggarap skripsinya, sebentar lagi lulus. Seolah tak mau kalah dengan prestasi
sang kakak, Dinda pun kini sudah dikontrak oleh salah satu rumah sakit supaya
ditempatkan kerja di rumah sakit tersebut. Kehidupan Dian dan keluargapun kini
lebih baik, bahkan hutang – hutang ibunya pun mampu dilunasinya.
Itulah
kehidupan,,,! Dibalik penderitaan pastilah ada hikmah yang tercantum di
dalamnya! Nasib orang siapa tahu, namun yang pasti yang harus kita lakukan
adalah tetap istikomah dan terus melanjutkan kehidupan sepahit apapun halangan
dan rintangan yang menghadang!!!.
Comments
Post a Comment