Skip to main content

SEKILAS MENGENAI PERANGKAT PEMBELAJARAN

Dalam dunia pendidikan kita diharuskan untuk membuat perangkat pembelajaran agar cara belajar dan mengajar bisa epektif dan berjalan dengan baik. Seorang pendidik selain harus mampu atau menguasai bidang keahliannya atau jurusan pendidikan yang diampunya maka dituntut harus mampu pula membuat perangkat pembelajaran. kenapa seperti itu, karena dengan perangkat pembelajaran maka kita akan mudah mengelola kelas dengan baik, dalam artian sebelum masuk ke kelas maka kita sudah menyiapkan segala macam kebutuhan dengan persiapan yang matang. Berikut beberapa perangkat pembelajaran yang harus disiapkan oleh pendidik sebelum dia masuk ke ruangan kelas: 1. Pekan efektif ini biasanya didapatkan dengan melihat kalender pendidikan 2. Prota atau sering dikenal dengan program tahunan 3. Promes atau program semester Silabus 4. RPP (Rencana Perangkat Pembelajaran) Format penilaian 5. Buku materi pembelajaran itu adalah hal-hal yang dibutuhkan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Selain itu

Diatas Sesal dan Tangis Kehilangan


DIATAS  SESAL DAN TANGIS KEHILANGAN
Hari berganti hari keadaanpun semakin berganti, tak ada yang tahu bagaimana kehidupan ini ke depannya,  mungkinkah akan lebih baik? Hidup itu ibarat lelakon permaianan wayang dimana dalanglah yang berkuasa memainkan kehidupan kita seperti apa? seperti halnya kehidupan kita ini. Kita bak diibaratkan sebagai wayang yang dimainkan oleh dalangnya.
Terkadang manusia hanya bisa meratapi apa yang dialaminya saat itu tanpa ingin mengetahui apa yang tersimpan didalamnya. Kehidupan dirasa semakin menarik dikala kita punya rasa optimis bukan menghadapi segala sesuatu dengan pesimis. Terkadang harus merasakan rasa sakit untuk menjadi kebal, harus merasakan bagaiman rasanya dihina untuk tidak menghina orang lain, dan mengetahui bagaimana rasanya kehilangan untuk bisa tetap bertahan hidup.
“HMm…sungguh ku merasa tak sanggup lagi dengan semua ini” ujar Dion dalam hati.
 Ya mungkin hanya kata – kata itulah yang membuatnya semakin merasa tak mampu lagi untuk bertahan hidup. Tapi apa mau dikata hidup haruslah terus berlanjut, hari ini mungkin merasa sesak, esok merasa lega dan entah apalagi yang akan terjadi di hari ke depan.
“Tuhan apa yang harus ku lakukan saat ini? Inikah kenyataan?sepahit inikah hidup? Siapa yang akan bertanggung jawab dengan semua kejadian ini? Bagaimana pula kelanjutan hidupku? Apa yang akan terjadi lagi pada diriku, ibu dan adiku? Siapa yang akan menjadi tulang punggung keluargaku? Bagaimana kelanjutan hidupku tuhan? “ tangis Dion membuncah, dikala keheningan malam.
 Ketika orang lain tertidur lelap dirinya merintih dan menangis melepaskan segala rasa sesal yang menghantuinya. Malam semakin larut namun dirinya tak kuasa tuk memejamkan mata, kini malam trasa sangat kelam dan tak ada sedikitpun cahaya yang menerangi dirinya. Semuanya sangat kejam, sangat tidak adil, dan membuatnya merasa terpuruk. Kehidupan dirasa tak lagi berpihak pada dirinya. Sesekali dirinya memandangi pepohonan yang tertiup angin seakan – akan melambai – lambaikan tangan padanya.
“HMm....kalau hanya menghujat kehidupan takan berujung, menangis meronta – rontapun takan bisa mengembalikan orang yang sudah meninggal, sekarang yang harus kulakukan hanyalah mendo’akan ayah kemudian melanjutkan kehidupan, menjaga ibu dan adiku” terucap dalam benak Dion sembari sesekali mengusap air mata yang meleleh dan tak terasa menetes ke sajadahnya.
Itulah pertamakalinya Dion menempati kamarnya kembali setelah lama tak pernah tidur di rumah bersama dengan keluarganya. Ya memang selama ini Dion selalu tidur dimanapun ia suka dan tak pernah ada seorangpun keluarganya yang mau tahu dengan dirinya, karena selama ini dirinya kalaulah ada di rumah maka suasana hanya akan menjadi buruk dan serasa gerah.
Malam ini Dion merasakan heningnya malam dikala gelapnya suasana tanpa cahaya bulan bak suasana hatinya yang kelam. Sesekali terdengar suara isakan dari kamar sebelah yang tak lain kamar ibunya. Ya ibu yang selama ini selalu mencercanya dengan kata – kata, dan selalu bernada tinggi pada dirinya dengan menyimpan harapan anak - anaknya menjadi kebanggaan keluarga. Tapi sayang kini seakan lemah lunglai tiada berdaya bak kehilangan separuh jiwanya. Hanya isak tangis yang menghiasi wajah sang ibu.
Tak kuasa mendengar serak parau suara sang ibu dari kejauhan akhirnya Dion menghampiri ibunya namun tak kuasa berkata apapun, yang bisa dilakukannya hanyalah memandangi wajah ibunya yang sedang berbaring diatas ranjang usangnya sembari tak henti – hentinya terisak. Dirinya hanya mampu memandangi dari pintu tak kuasa untuk berkata dan mengusap air mata sang ibu, ingin rasanya melakukan hal itu namun apalah haknya untuk melakukan itu, sungguh malu dirinya yang selama ini senantiasa melenceng dan tak pernah mendengarkan kata – kata orang tuanya. Masih punya hakkah dirinya dan bisakah dirinya untuk mengusap air mata sang ibu dan mengubahnya menjadi senyum canda tawa yang biasa didengarnya dahulu ketika dirinya masih di usia yang amat dini, ketika dirinya belum mengerti hiruk pikuk dunia kelam.
Semalaman dirinya tak bisa memejamkan mata, tak terasa adzan subuhpun telah berkumandang terdengar jelas dari barat rumah, dirinya serasa lemah lunglai tiada berdaya, matapun bengkak karena semalaman tak henti – hentinya mentikian air mata, entah apa yang membuatnya menginjakan kaki ke mesjid untuk salat subuh berjamah setelah lama rasanya tak pernah lagi menginjakan kaki di mesjid itu lagi.
“ Rasanya sangat sejuk hati ini” gumam Dion dalam hati sembari memandangi relief – relief ukiran bangunan mesjid yang ditempatinya kala itu, sejenak dirinya terlupa akan rasa sakitnya ditinggalkan oleh sang ayah.
“ Hai…bagaimana kabarmu kawan?” ujar sang teman menyapanya kala itu.
“ Oooh….kabar baik, bagaimana denganmu Jon?” jawab Dion sembari agak tergagap karena kaget.
“ Alhamdulillah aku juga baik! Ku dengar ayahmu dipanggil yang maha kuasa hari Jum’at kemarin, benarkah itu? Yang sabar ya Yon..aku yakin kamu pasti bisa menghadapi semua ini. Maaf aku tak bisa hadir ke pemakaman ayahmu saat itu karena aku baru dengar kabar itu dari ibuku kemarin malam” ujar Joni sembari menepuk – nepuk pundak Dion.
“ Ia taka pa Jon…insya Allah aku akan berusaha kuat dengan semua ini, mungkin ini memang suratan takdir yang diatas”. Jawab Dion berusaha menegarkan diri sementara itu batinnya terisak pilu.
“ Apa yang akan kamu lakukan saat ini Yon...?apa kamu punya rencana? Sekarang yang menjadi tulangg punggung keluargamu telah tiada, satu – satunya yang menjadi harapan ibumu ya mungkin hanya kamu Yon.” Joni mengingatkan Dion sembari memberi pandangan padanya.
“ Entahlah Jon…aku juga bingung apa yang harus ku lakukan saat ini! Adiku masih kelas  6 SD, dan pastinya dia harus terus berlanjut sekolah, sementara ibu tak mungkin menanggung semua itu sendiri, dan aku hanyalah lulusan SMA, bahkan akupun tak punya keahlian sedikitpun, aku tak punya gambaran untuk kehidupan ke depan, apa yang harus ku lakukan saat ini?” jawab Dion bingung sembari menatap langit – langit mesjid.
“ Gini aja Yon…kamu ikut denganku ke Sumatra, ya paling tidak mungkin untuk membantu – bantu makan ibumu mungkin bisa kamu ambil dari situ nanti, ya meski gajinya mungkin tak terlalu besar tapi paling tidak saat ini yang harus kamu fikirkan bagaimana caranya untuk membantu ibu dan adikmu, karena tak ada siapa – siapa lagi yang mereka harapkan selain kamu, dan kamu anak  laki – laki satu – satunya, sudah sepantasnya kamu berfikir menjadi pengganti ayahmu untuk saat ini, bagaiman Yon apa kamu mau ikut denganku ke Sumatra?” tawar Joni saat itu, yang merasa iba dengan Dion yang tak lain adalah sahabatnya sendiri, meski mereka terpaut umur yang cukup jauh namun mereka bersahabat akrab, bahkan boleh dikata Joni pantasnya mungkin lebih cenderung bak sebagai kakak yang selalu mengingatkan Dion.
“ Ya gimana nanti saja Jon…aku tak bisa memutuskan sendiri saat ini, aku harus rempug dulu dengan ibuku, yang pasti apa yang kamu katakana memang benar Yon,,, saat ini aku harus menjadi pengganti ayahku” jawab Dion kepada Joni sembari menatap wajahnya seakan berucap terimakasih atas semua kebaikannya selama ini.
“ Sudahlah,,,,kalau kamu setuju, kita berangkat bareng, jangan lupa sampaikan salamku untuk ibu dan adikmu” jawab Joni sembari berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.
“ Ia makasih, pasti nanti saya sampaikan Jon, salam juga buat istri dan anakmu di rumah”  ujar Dion sembari mempersilahkan Joni beranjak dari tempat duduknya terlebih dahulu.
Ya seperti itulah percakapan Dion dengan sahabatnya, Dion merasa bingung haruskah dirinya ikut dengan Joni,  meninggalkan ibu dan adiknya yang mungkin saat ini masih sedih karena kehilangan ayah tercintanya, apakah akan baik jika seandainya dirinya pergi meninggalkan ibunya, disepanjang jalan menuju ke rumah Dion masih saja mengingat kata – kata Joni, dimana dirinya kini hanyalah satu – satunya harapan ibu dan adiknya, yang mungkin diharapakan yang akan menjadi tulang punggung keluarganya saat ini, yang akan menjadi pengganti ayahnya, bisakah dirinya menjadi tulang punggung keluarga sementara dirinya sendiri saja selama ini tak pernah melakukan pekerjaan apapun, bisakah dirinya hidup pedih di negri orang sementara selama ini hidupnya sangat nyaman tak pernah sedikitpun dirinya melakukan pekerjaan. Ya mungkin inilah saatnya buat dirinya menjadi seperti yang diharapkan oleh keluarganya, seperti yang dikatakan Joni.
“ Kreket…… Assalamu’alaikum” ujar Dion sembari membuka pintu menuju ke rumah sederhana yang ditinggalinya saat ini.
“ waalaikum salam” jawab adiknya yang sedang tiduran di tengah rumah.
“ Lis dimana ibu? Ko sepi?” Tanya Dion ke Lisna yang tak lain adiknya.
“ Ibu pergi ke rumah paman mas, “ jawab Lisna singkat.
“ Ooooh,,,,!” jawab Dion datar sembari beranjak ke kamarnya.
“ Bruuuk…..!” Dion merebahkan diri diatas kasurnya yang kecil.
“ Tuhan haruskah aku ikut bersama dengan Joni?” Ujar Dion dalam hati, sembari menatap langit – langit kamarnya.
Masih saja Dion mengingat – ingat perkataan Joni tadi ketika di mesjid sehabis shalat subuh.
“ Lis ngapain ibu ke rumah paman? Ko lama?” Tanya Dion setengah mengeraskan suaranya supaya terdengar ke ruang tengah.
“ Kurang tahu mas!” jawab Lisna singkat.
“ Kamu hari ini sekolahkan? Kenapa belom mandi? Ini sudah jam 6 Lis , nanti kamu kesiangan”. Ujar Dion menimpali jawaban Lisna sembari beranjak ke ruang tengah menghampiri Lisna.
“ Gak tahu mas…Lisna gak dikasih ongkos sama ibu, mungkin Lisna hari ini gak masuk lagi.” Jawab Lisna sembari teriska dan meneteskan air mata.
“ Oooooh… ini mas punya buat sekedar ongkosmu, sana mandi dulu terus berangkat nanti kesiangan! Hari ini kamu gak usah jajan, bawa saja makanan dari rumah, kakak hanya punya buat ongkos saja.” Jawab Dion sembari mengulurkan uang receh Rp. 3000, dan mengelus kepala adiknya.
“ Ia mas…!” Jawab Lisna singkat, sembari menyunggingkan bibir mungilnya, terlihat senang karena dirinya hari ini bisa berangkat sekolah lagi.
“ Tuhan separah inikah keadaan keuangan keluargaku sepeninggal ayah??.” Gumam Dion dalam hati sembari memandangi adik kecilnya yang masih polos.
Dion mengalami pergolakan bathin yang sejujurnya amat membuatnya tersiksa, namun apa daya, ini adalah suratan yang memang harus dijalani dan harus dilewatinya. Akankah Dion dan keluarganya bisa bertahan hidup dengan keadaan yang tak lagi seperti dulu, tak ada lagi tulang punggung keluarga, tak ada lagi yang bisa mencukupi kehidupan keluarganya, tak mungkin pula kalau hanya mengharap uluran tangan orang lain yang berhati mulia yang mau menolong nasib hidupnya.
Sejenak Dion merasa sangat mantap untuk ikut ke Sumatra bersama dengan Joni yang tak lain sahabatnya, dengan pertimbangan mungkin kehidupannya bersama dengan ibunya akan menjadi lebih baik.
“ Ya mungkin inilah jalan yang harus ku ambil, aku harus ikut bersama dengan Joni untuk menghidupi keluargaku, membantu mengurangi beban ibu.” Gumam Dion dalam hati.
“ Kreket…Assalamu’alaikum…!” ibunya membuka pintu, mengagetkan lamunan Dion kala itu.
“ Waalaikum salam…!” jawab Dion sembari bangun merubah posisinya untuk duduk.
“ Bu…dari mana??.” Tanya Dion berpura seolah tak tahu kalau ibunya dari rumah pamannya.
“ Dari rumah pamanmu Yon, mengambil beras buat kita makan besok, karena persediaan beras sudah habis.” Jawab ibunya sembari duduk disamping Dion, seolah mengeluh dan meminta pertolongan padanya.
“ Bu,,,maafkan Dion, selama ini Dion sering menyusahkan ibu!, mungkin Dion besok pagi mau ikut dengan Joni ke Sumatra! Bagaimana menurut ibu? Apa ibu mengizinkan?.” Tanya Dion ke ibunya, dengan harapan semoga ibunya akan mengizinkannya pergi.
“ Ngapain kamu ikut bersama dengan Joni? Kalau ke sana terlalu jauh Yon,,,, dan lagipula kamu mau kerja apa disana? Joni saja menghidupi keluarganya kelihatan sulit, terus apa kamu tak kasihan ke Joni, nanti malah merepotkan Joni disana” papar ibunya penuh pertimbangan.
“ Terus kita bagaimana? Emangnya kita mau terus – terusan minta – minta ke paman bu? Paman juga punya keluarga sendiri, tak mungkin selamanya kita bergantung pada paman! Apa kata orang nanti! Dan lagipula mereka juga akan bosan kalaulah kita terus – terusan minta – minta ke paman” jawab Dion menyangkal ibunya.
“ Kamu ikut saja dengan pamanmu ke Banten, jangan dengan Joni! Ibu sudah rempug dengan pamanmu tadi, mungkin disana ada pekerjaan yang pas dengan kamu.” Jawab ibunya, masih tetap dengan pendiriannya tak mengizinkan Dion pergi dengan Joni.
“ Baiklah kalau memang itu mau ibu.” Jawab Dion singkat.
Hari berganti hari, Dion pun ikut bersama dengan pamannya ke Banten tanpa tahu tujuan yang jelas dirinya akan kerja dimana. Yang dilakukan Dion hanyalah sekedar ikut dengan pamannya.
Sementara itu pamannya bertanya kepada teman – temannya ke sana kemari supaya keponakannya mendapatkan pekerjaan yang sesuai, namun apalah mau dikata zaman sekarang mencari pekerjaan sangatlah sulit, jangankan lulusan SMA, lulusan sarjana saja banyak yang pengangguran.
Dion hanyalah mendengarkan percakapan pamannya bersama dengan teman – temannya, sembari membathin dalam hatinya.
“ Tuhan tolonglah hambamu ini! Aku hanyalah ingin membantu ibuku, menjalankan amanah yang engkau titipkan padaku dan berusaha mengurangi beban ibuku, sesulit inikah ya Robb? Mudahkanlah dalam setiap langkahu ya Robb…” jerit Dion dalam hati.
“ Yon..mungkin nasibmu akan sama dengan paman, tak ada jalan lain selain kamu harus mengikuti langkah paman menjual kerupuk keliling”. Ujar pamannya sembari ada rasa sesal dan iba karena pamannya tak mampu banyak berbuat.
“ Tak apalah paman, mungkin inilah yang terbaik”. Jawab Dion sembari terenyuh dan membathin dalam hati.
Esok hari Dion mulai bekerja seperti halnya pamannya, menanggung beberapa kantong kerupuk dan berkeliling. Ada rasa malu, gengsi, dan rasa tak kuasa ingin menangis namun hal tersebut haruslah dijalaninya demi ibu dan adiknya di kampung halaman.
Hari berganti hari namun rasanya tak ada perubahan, yang ada hanyalah rasa lelah yang menghampiri Dion, seolah semuanya tiada berguna apa yang dilakukannya itu. Hingga akhirnya sampailah suatu hari pada pemikiran, kalaulah terus berjalan berkeliling hanya mengantarkan kerupuk ke tiap warung dengan penghasilan yang kurang memadai dengan kondisi dirinya dan untuk menghidupi ibu dan adiknya, apalah sampingan pekerjaan yang harus ditekuninya lagi saat ini supaya bisa mencukupi semua kebutuhan ibu dan adiknya di kampung halaman. Yang didapatnya hanyalah cercaan dan hinaan dari orang lain.
“ Tuhan beginikah nasibku, untuk di hina orang lainkah? Ya Robb.. kuatkanlah diri ini untuk menghadapi semua ini, dan jangan sampai diri ini membenci orang yang menghina diri ini.” Rintih Dion dalam hati, ditengah – tengah perjalannya sembari bathinya menitikan air mata.
Di hari lain Dion berusaha membawa barang yang berbeda, yang berupa pakaian dan dilakukannya terus menerus. Hal itu dilakukannya hari demi hari, tanpa terasa kini dirinya mulai dekat dan mulai bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan para pembeli, kini dirinya mulai meniti penghasilannya dari situ. Ibu dan adiknya sekarang tak lagi seakan kehilangan arah, keadaan mulai berpihak lagi pada dirinya. Hanya waktu yang menjawab semua do’a – do’anya selama ini. Itulah yang dialami Dion saat ini atas segala jerih payahnya, mencoba menjalani amanah yang dititipkan kepadanya. Dibalik derita dan dibalik hinaan serta kehilangan, kini dirinya telah lebih baik, dan mengerti arti kehidupan.
Adiknya kini telah lulus SD dan berhasil melanjutkan ke SMP, begitupun dengan ibunya kini lebih baik dan tak kekurangan sesuatu apapun kalau hanyalah untuk sekedar makan sehari – hari, bahkan ibunya tahun depan akan menunaikan ibadah haji menyempurnakan rukun Islam.
Jerih payah Dion selama ini tak sia – sia, seperti halnya apa yang dikatakan orang – orang selama ini “ barang siapa bersungguh – sungguh pastilah dia akan menuai hasilnya.” Dibalik derita, luka dan kehilangan dirinya bangkit kembali dan meniti kehidupannya supaya lebih baik dan menjadi sosok seorang Dion yang mengerti akan arti kehidupan.
“Masa lalu mungkin bolehlah kelam namun yang lalu biarlah berlalu, songsong kehidupan ke depan dengan penuh harapan untuk menjadi yang lebih baik”.  Ya itulah pemikiran Dion selama ini hingga bisa terus bertahan hidup.   

                                                      


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Hakikat dan Konsep Pendidikan Seumur Hidup Dalam Islam

BAB I PENDAHULUAN   1.1. Latar belakang masalah. Pendididkan adalah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan pendidikan akan meninggikan manusia dan merendahkan manusia yang lain, manusia akan dianggap berharga bila memiliki pendidikan yang berguna bagi sesamanya. Masa dari pendidikan sangatlah panjang, banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan itu berlangsung hanya disekolah saja, tetapi dalam kenyataanya pendidikan berlangsung seumur hidup melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupanya. Islam juga menekankan pentingnya pendidikan seumur hidup, Nabi pernah bersabda : Tuntutlah ilmu dari buain sampai meninggal dunia . Hal ini menunjukan bahwa pendidikan berlangsung tanpa batas yaitu mulai sejak lahir sampai kita meninggal dunia. Selain itu islam juga mengajarkan untuk mempelajari tidak hanya ayat qouliyah saja, tetapi ayat-ayat kauniyah, atau kejadian-kejadian di sekitar kita. Maka jelaslah sudah bahwa pendidikan seumur hidup itu s

Makalah Pengembangan Instrumen Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Masalah          Instrumen memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena validitas atau kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas atau validitas instrumen yang digunakan, di samping prosedur pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini mudah dipahami karena instrumen berfungsi mengungkapkan fakta menjadi data, sehingga jika instrumen yang digunakan mempunyai kualitas yang memadai dalam arti valid dan reliabel maka data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan sesungguhnya di lapangan. Sedangkan jika kualitas instrumen yang digunakan tidak baik dalam arti mempunyai validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh juga tidak valid atau tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru.           Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah tersedia dan dapat pula

CONTOH SOAL LOGIKA DAN BANGUN RUANG DIMENSI TIGA

SOAL LOGIKA DAN BANGUN RUANG DIMENSI TIGA 1.       Dalam logika matematika ada yang dinamakan kalimat terbuka, pengertian dari kalimat terbuka adalah....... A.     Kalimat yang belum dapat ditentukan nilai kebenarannya karena masih mengandung peubah (variabel). B.      Kebalikan dari suatu pernyataan yang telah ditentukan nilai kebenarannya. C.      Kalimat sangkalan/ingkaran dari suatu pernyataan. D.     Kalimat deklaratif faktual (pernyataan fakta). E.      Kalimat majemuk dengan menggunakan kata hubung jika hanya jika. 2.       Ingkaran/negasi dari “Semua binatang berkaki empat” adalah...... A.     Semua binatang tidak berkaki empat. B.      Semua binatang berkaki empat. C.      Ada binatang yang tidak berkaki empat. D.     Ada binatang yang berkaki empat. E.      Ada binatang jika dan hanya jika berkaki empat. 3.       Kalimat pernyataan majemuk yang menggunakan kata hubung “Dan” adalah...... A.     Konjungsi B.      Disjungsi C.      Impli